[K.O.K] – Rencana kenaikan dana operasional bagi ketua Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) di Jakarta memicu kesalahpahaman di kalangan warga.
Banyak yang mengira alokasi ini sebagai gaji atau insentif pribadi bagi pengurus, padahal dana tersebut sepenuhnya ditujukan untuk kegiatan masyarakat dengan mekanisme pertanggungjawaban ketat.
Sejumlah ketua RW di Palmerah, Jakarta Barat, angkat bicara untuk meluruskan isu ini. Rini Astuti (49), Ketua RW 14 Palmerah, menegaskan bahwa dana tersebut bukan gaji.
“Bukan gaji. Jadi kalau OP (operasional) itu bukan gaji sebetulnya, jadi uang operasional buat keperluan warga,” ujar Rini, yang akrab disapa Tuti.
Menurutnya, dana ini digunakan untuk kegiatan seperti perayaan Agustusan, kegiatan di wilayah bersama kader Dasawisma, Jumantik, hingga fasilitas warga.
Senada, Iis Wahyudi, Ketua RW 05 Jatipulo, Palmerah, menekankan perlunya penjelasan kepada masyarakat.
“Ini yang harus diluruskan. Kalau yang beredar di warga kan katanya insentif, tapi sebenarnya itu adalah uang operasional,” katanya.
Ia membedakan insentif pribadi yang tak butuh laporan dengan dana operasional yang wajib dilaporkan melalui Laporan Pertanggungjawaban (LPJ).
“Semua uang yang kami terima itu wajib ada laporannya. Ada tanggung jawabnya, kita enggak bisa makai untuk pribadi seenaknya,” tambah Iis.
Beni Kurniawan, Ketua RW 08 Kota Bambu Selatan, Palmerah, menambahkan bahwa dana diberikan di awal untuk menjalankan program, tapi harus dipertanggungjawabkan bulanan.
“Ini yang harus dipahami, ini bukan gaji. Kalau operasional, dana diberikan di depan untuk menjalankan kegiatan, dan setelahnya kami wajib membuat LPJ,” tegasnya.
Beni mengkritik asumsi masyarakat yang wajar karena kurangnya pemahaman sistem, tapi menegaskan tugas RT/RW adalah kerja sosial, bukan pencarian untung.
Meski mengapresiasi kenaikan, ia khawatir beban administrasi bertambah jika naik signifikan seperti janji kampanye.
“Kami bersyukur minimal ada tambahan. Tapi kami juga sadar, jika dana dinaikkan signifikan, misalnya 100 persen seperti janji kampanye, itu juga menjadi beban karena tanggung jawab dan tuntutan LPJ-nya pasti akan jauh lebih berat,” ucapnya.
Kritik muncul atas kurangnya sosialisasi dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta, yang membuat warga salah kaprah.
Wakil Gubernur Rano Karno menjelaskan kenaikan dilakukan bertahap, bukan langsung dua kali lipat seperti janji Pilkada 2024.
“Artinya itu sudah masuk dalam APBD-P, mudah-mudahan dalam bulan Oktober sudah ada distribusi,” kata Rano.
Dengan 30.894 pengurus RT dan 2.741 RW di Jakarta, kebijakan ini diharapkan tingkatkan pelayanan masyarakat, dari pendataan warga hingga pengelolaan lingkungan.
Namun, tanpa komunikasi yang lebih baik, kesalahpahaman bisa menghambat semangat pengurus.
Pemprov perlu segera klarifikasi untuk hindari distrust di tingkat grassroot.
sumber: Kompas
