[K.O.K] – Pemasangan tiang listrik oleh PT PLN (Persero) di lahan milik warga sering menjadi sumber konflik. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menegaskan, proses ini tak boleh dilakukan secara sepihak. Harus ada izin tertulis dari pemilik tanah, disertai bukti kepemilikan sah, atau kompensasi yang adil sesuai regulasi.
“Dalam konteks mendirikan fasilitas PLN, biasanya harus dengan persetujuan si pemilik tanah,” ujar Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol Kementerian ATR/BPN, Harison Mocodompis.
Ia menekankan, jika lahan tersebut milik masyarakat, PLN wajib meminta izin, membeli tanah, atau memberikan ganti rugi.
“Kalau punya masyarakat ya harus diizinkan masyarakat juga atau PLN beli atau seperti apa mekanismenya dari PLN,” tambahnya.
Kebijakan ini berbeda jika tanah berstatus negara, yang dikuasai pemerintah daerah. Dalam hal ini, PLN cukup berkoordinasi dengan instansi terkait untuk mendapatkan izin pemasangan.
“Tanah negara itu maksudnya aset negara yang dikuasai oleh pemerintah daerah, ya berarti tinggal izin pemasangan,” jelas Harison.
Kritik muncul ketika pemasangan tiang listrik sering dianggap sepele karena ukurannya kecil, padahal dampaknya permanen terhadap hak atas tanah.
Harison menyoroti praktik PLN dalam jaringan SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi), di mana biasanya dilakukan pengadaan tanah secara resmi.
Namun, untuk tiang listrik biasa, lokasi harus diverifikasi, apakah di jalan raya, tanah negara, atau milik warga. Jika di tanah pribadi, kompensasi mutlak diperlukan.
“Harus ada kompensasi. Biasanya (dalam bentuk) pengadaan atau pembelian tanah sepanjang itu memang dibuktikan tanah masyarakat,” tegasnya.
Pendapat ini didukung pakar hukum agraria dari Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan.
Menurutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (yang diubah oleh UU Cipta Kerja), pemasangan tiang listrik bersifat permanen sehingga memerlukan pelepasan hak tanah.
Pemilik berhak atas ganti rugi jika tanah digunakan langsung, atau kompensasi jika nilai ekonomisnya berkurang akibat transmisi listrik.
“Di dalam UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan/atau distribusi tanah tenaga listrik, sehingga pengadaan tanahnya melalui mekanisme ganti rugi,” papar Gunawan.
Ia menambahkan, warga bisa mengajukan keberatan ke PLN atau kepala daerah jika tanpa izin, dengan sanksi bagi yang melanggar.
“Jika ganti rugi dan atau kompensasi belum pernah diterima, masyarakat tidak bisa dibebani biaya pemindahan,” imbuhnya.
Kementerian ATR/BPN siap mendampingi rekonstruksi batas tanah bersama PLN untuk menghindari sengketa.
Kasus semacam ini menimbulkan polemik, Apakah PLN sering mengabaikan hak warga demi percepatan infrastruktur?
Praktik tanpa izin tidak hanya melanggar hukum, tapi juga merusak kepercayaan publik terhadap perusahaan negara.
Warga disarankan verifikasi status tanah dan klaim haknya segera untuk mencegah kerugian lebih lanjut.
sumber: Kompas.com
