[K.O.K] – Damaskus, 7 Masehi terjadi pertemuan bersejarah antara Abu Sufyan, tokoh Quraisy yang kala itu belum memeluk Islam, dengan Kaisar Romawi Heraklius mengungkap wawasan mendalam tentang sosok Nabi Muhammad SAW.
Dialog ini, yang tercatat dalam hadis shahih Bukhari dan Muslim, menjadi sorotan karena menampilkan ketelitian Heraklius dalam menyelidiki kebenaran, sekaligus memperlihatkan kejujuran Abu Sufyan meski ia masih memusuhi Nabi.
Latar Belakang Pertemuan
Kaisar Heraklius, penguasa Kekaisaran Bizantium, menerima kabar tentang munculnya seorang nabi di jazirah Arab. Dalam upaya memahami fenomena ini, ia memanggil Abu Sufyan, yang saat itu berada di wilayah Syam untuk berdagang. Pertemuan ini terjadi sebelum Perjanjian Hudaibiyah, ketika hubungan antara kaum Muslimin dan Quraisy masih tegang.
Heraklius mengajukan serangkaian pertanyaan tajam kepada Abu Sufyan. “Apa yang diajarkan oleh orang ini (Muhammad)?” tanya Heraklius. Abu Sufyan menjawab, “Ia menyuruh kami menyembah Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dengan apapun, meninggalkan agama nenek moyang, menjalankan salat, jujur, menjaga amanah, dan memelihara hubungan kekerabatan.”
Ketelitian Heraklius dan Kejujuran Abu Sufyan
Meski Abu Sufyan belum beriman, ia mengakui kebenaran ajaran Nabi Muhammad dengan jujur. Heraklius, yang memiliki pengetahuan tentang kitab-kitab suci sebelumnya, menganalisis jawaban Abu Sufyan dengan cermat. Ia bertanya tentang asal-usul keluarga Nabi, pengikutnya, dan apakah ada tanda-tanda kenabian. “Apakah ada di antara leluhurnya yang menjadi raja?” tanya Heraklius. “Tidak,” jawab Abu Sufyan. “Apakah pengikutnya dari kalangan bangsawan atau rakyat biasa?” Abu Sufyan menjawab, “Rakyat biasa.”
Heraklius menyimpulkan, “Jika apa yang kamu katakan benar, dia adalah nabi. Aku tahu bahwa seorang nabi akan muncul, tapi aku tidak menyangka ia dari bangsa Arab.” Pernyataan ini mencerminkan pengakuan Heraklius terhadap tanda-tanda kenabian berdasarkan kitab suci yang ia pelajari, meski ia akhirnya tidak memeluk Islam karena pertimbangan politik dan kekuasaan.
Mengapa Dialog Ini Menjadi Penting?
Dialog ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan cerminan bagaimana kebenaran dapat terungkap bahkan dari pihak yang berseberangan. Abu Sufyan, meski musuh Nabi saat itu, tidak memutarbalikkan fakta. Ini menunjukkan integritasnya sebagai saksi sejarah.
Namun, Heraklius, meski mengenali kebenaran, memilih untuk tidak bertindak karena tekanan politik. Hal ini mengundang refleksi, sering kali, manusia mengetahui kebenaran, tetapi ego, kekuasaan, atau kepentingan duniawi menghalangi mereka untuk menerimanya.
Di sisi lain, dialog ini juga menyoroti pentingnya verifikasi informasi. Heraklius tidak langsung menerima kabar tentang Nabi Muhammad, melainkan melakukan penyelidikan mendalam. Dalam konteks modern, ini relevan dengan tantangan misinformasi di era digital, di mana kebenaran sering terkabur oleh narasi yang bias.