[K.O.K] – Di tengah deretan program pemerintahan Prabowo Subianto, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP) banyak pengamat yang menilai sebagai inisiatif program rentan gagal.
Diluncurkan pada 21 Juli 2025 dengan target 80.081 unit di seluruh Indonesia, program ini digadang-gadang sebagai motor penggerak ekonomi desa melalui gotong royong.
Namun, melihat sejarah koperasi di Tanah Air, risiko kegagalan tinggi, baik dari korupsi hingga kurangnya pengawasan.
Sejarah Koperasi Unit Desa (KUD) di era Orde Baru menjadi cermin. Dibentuk pada 1973 melalui Inpres, KUD sempat berjaya sebagai penopang swasembada pangan, menyatukan petani dalam kolektif usaha.
Namun, kini KUD nyaris tinggal kenangan, gagal karena jadi “kendaraan proyek” pemerintah, bukan lembaga otonom.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi) juga tak mampu memajukan gerakan koperasi secara signifikan.
Selama era Jokowi, jumlah koperasi anjlok drastis, dari 212.135 unit pada 2014 menjadi 132.766 pada 2024, dengan 79.369 unit dibubarkan karena tidak aktif.
Faktor kegagalan berlapis. Banyak Koperasi Simpan Pinjam (KSP) gulung tikar karena kalah saing dengan “bank plecit” ilegal dan aplikasi pinjaman online (pinjol).
Lebih parah, tak sedikit bank plecit yang bersembunyi di balik jubah koperasi dan mengadang gadang investasi yang akhirnya mengeksploitasi celah regulasi.
Isu sumber daya manusia (SDM) kurang profesional, minim teknologi, dan lunturnya prinsip gotong royong memperburuk situasi.
Masyarakat Indonesia kian bergeser ke pola individualistik dan kapitalistik, meninggalkan semangat kebersamaan yang jadi fondasi koperasi.
Obsesi Prabowo terhadap koperasi tak lepas dari warisan ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, ekonom legendaris yang pernah menjabat Ketua Umum Ikatan Koperasi Pegawai Negeri Republik Indonesia (IKPN-RI) pada 1982.
Namun, ambisi ini berisiko. Banyak koperasi baru yang dibentuk secara kejar tayang, hanya untuk seremoni peresmian, lalu vakum pasca-acara.
Lebih mengkhawatirkan, koperasi kerap jadi ladang korupsi. Kasus-kasus seperti korupsi kredit fiktif hingga mark up anggaran menunjukkan pola dapat berulang, dana negara bocor, pengawasan lemah.
Kritik tajam datang dari pakar, program ini berpotensi jadi “ladang korupsi baru” dengan kebocoran hingga Rp48 triliun jika tak diawasi ketat.
Alih-alih koperasi baru, pemerintah sebaiknya fokus memberdayakan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan UMKM pedesaan yang sudah ada.Jika tetap lanjutkan KDMP, lakukan secara serius, fokus, dan bertahap.
Prioritaskan monitoring dana negara, perketat pengawasan, karna akan bermunculan ribuan lembaga baru.
Program ini bisa jadi harapan ekonomi rakyat jika dieksekusi benar. Tapi tanpa reformasi mendasar, sejarah kegagalan koperasi bakal terulang, meninggalkan beban bagi desa-desa Indonesia.